BiologiÂ
Pala (Myristica fragrans Houtt) adalah rempah-rempah penting yang banyak dibudidayakan di kebun dan tumbuh di pekarangan rumah masyarakat perdesaan di Indonesia. Pala diduga tanaman asli Indonesia, khususnya dari wilayah kepulauan di Indonesia timur. Pulau Banda dan Maluku sering disebut sebagai asal dari tanaman pala. Penyebaran pala ke Indonesia bagian barat, terutama Jawa dan Sumatera, diduga dilakukan oleh saudagar-saudagar rempah yang berlayar dari Indonesia timur dan singgah di Jawa dan Sumatera akhir abad 12. Di luar kawasan kepulauan Nusantara, introduksi pala di India dilakukan oleh Inggris pada abad 18. Saat ini tanaman pala banyak dibudidayakan di India selatan, meliputi antara lain Karnataka, Kerala, dan Tamil Nadu.
Di alam, terdapat enam spesies pala, yaitu Myristica fragrans Houtt, Myristica argentea Ware, Myristica fattua Houtt, Myristica speciosa Ware, Myristica Sucedona BL dan Myristica malabarica Lam. Dari keenam jenis tersebut, Myristica fragrans banyak dibudidayakan dan diperjual belikan karena mempunyai nilai ekonomi yang tinggi (Cere, 1961)[mfn]Cere, (1961). Budidaya Tanaman Pala dan Balai Penelitian Rempah dan Obat. VII, Bandung.[/mfn]. Pala, dalam buku ini adalah Myristica fragrans, telah menarik perhatian dunia Eropa pada masa lampau dan menjadi salah satu sebab bagi kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara.
Pohon pala dapat tumbuh dengan baik dan dalam kondisi produktifitas optimal pada iklim tropik lembab hangat. Iklim kering dengan lahan basah/tergenang tidak cocok untuk budidaya pala. Pertumbuhan dan produk optimal dilaporkan terjadi pada populasi tanaman pada kebun-kebun pada ketinggian 500-700 m dpl. Diatas ketinggian tersebut, produktifitasnya akan rendah (Atjung, 1985)[mfn]2[/mfn]. Lokasi yang baik untuk budidaya pala adalah area dengan curah hujan 150 cm. Populasi pala dengan produktifitas tinggi tumbuh pada suhu lingkungan 20-30 C°. Lahan ideal untuk budidaya pala adalah lempung liat dan lempung berpasir. Pala tumbuh bagus terutama pada tanah subur daerah vulkanik dataran rendah hutan tropic. Tanaman pala dilaporkan tahan terhadap kekeringan beberapa saat, namun demikian tanaman akan tumbuh bagus pada lokasi dengan curah hujan yang tinggi dan agak merata sepanjang tahun (Lubis,1992)[mfn]Atjung, (1985). Tanaman Obat dan Minuman Segar. Peterbit CV Yasaguna, Jakarta[/mfn].
Pala mempunyai buah berbentuk lonjong, berwarna hijau saat muda dan kuning menjelang matang. Buah berdaging. Pada saat matang, kulit buah terbelah dan akan terlihat biji yang diselimuti fuli berwarna merah. Daging buah pala menghasilkan aroma yang khas karena mengandung minyak atsiri.
Kendala-kendala dan ancaman dari budidaya pala adalah serangan hama dan penyakit tanaman pala. Hama tanaman pala pada perkebunan antara lain adalah Penggerek batang (Batocera sp.), Anai-anai/rayap dan Kumbang Aeroceum fariculatus. Penyakit yang sering menyerang pala di perkebunan rakyat antara lain adalah cendawan putih yang dapat menyebabkan buah terbelah dan rontok sebelum tua. Selain itu, kanker dapat menyebabkan pembengkakkan pada batang, cabang dan/ranting pada tanaman budidaya di kebun. Penyakit tanaman pala lainnya adalah serangan Stignina myristicae yang diduga dapat menyebabkan busuk buah kering dan serangan Collectotrichum gloeosporiodes yang diduga menyebabkan busuk buah basah. Kedua cendawan tersebut merupakan organism penting penyebab kegagalan panen buah pala yang banyak dihadapai oleh pekebun.
Aspek ekonomi Pala
Semua bagian dari buah pala dapat dimanfaatkan dan mempunyai nilai ekonomi. Nilai ekonomi pala terutama berasal dari buah. Namun demikian, jika dikelola dengan baik kulit batang dan daun tanaman pala adalah sumber minyak atsiri. Kayu dari batang utama tanaman pala jarang dijual sebagai kayu bangunan. Bagian utama yang bermanfaat dan digunakan secara luas sebagai rempah adalah biji, salut biji (arillus) dan daging buah pala. Salut biji diperdagangkan secara luas dan dikenal sebagai mace.
Sejak tahun 1975 sampai 2014, luas lahan budidaya pala oleh masyarakat fuktuatif. Namun demikian, jika diperhatikan terjadi kenaikan ukuran luas lahan budidaya petani dari 47.008 hektar menjadi 146.469 hektar pada tahun 2014. Pada tahun 1975, panen pala tercatat sejumlah 14.292 ton, naik menjadi 26.388 ton pada tahun 2014. Peran perkebunan pemerintah dalam budidaya pala dapat dikatakan kecil. Pada tahun 1975, luas lahan pemerintah untuk budidaya pala hanya 2.325 hektar, dan menyusut menjadi 908 hektar pada tahun 2014.
Produktifitas pala dalam lahan pemerintah tercatat 342 ton pada tahun 1975, dan menyusut menjadi 80 ton pada tahun 2014. Pemerintah kurang tertarik untuk investasi dalam penanaman pala, sementara gairah masyarakat untuk budidaya pala meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pala adalah salah satu tanaman kebun penting dalam masyarakat pekebun di Indonesia. Pala adalah tanaman kebun penting di propinsi Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat. Maluku dan Maluku Utara adalah propinsi dengan luas kebun pala terbesar dan produktifitas pala tertinggi di Indonesia. Ekspor pala meningkat dari tahun ke tahun. Statistik ekspor pala pada tahun 1969 tercatat sebesar 5.229 ton dengan nilai eksport sebesar 1.859.000 USD. Pada tahun 2012, angka ekspor pala meningkat menjadi 12.849 ton dengan nilai ekport 140.018.000 USD (Kementrian Pertanian, 2014).
Kandungan Kimia dan Nutritif
Minyak esensial (essential oils) yang diektrak dari biji dan salut biji (arillus) biji pala kaya akan Myristicin, Elemicin, Safrole, dan Sabinine (Maya et al., 2004). Penelitian Adams dan Muchtaridi menegaskan bahwa biji pala mengandung minyak esensial penting dan bermanfaat bagi tubuh. Dari sejumlah 32 minyak esensial yang ditemukan dari biji Pala, proporsi terbanyak minyak esensial antara lain adalah Sabinene, Myristicin, 4-terpineol, dan alfa pinene. Biji Pala mengandung 30-55% minyak dan 45-50% bahan padat, meliputi antara lain selulosa.
Terdapat dua jenis minyak, pertama adalah minyak esensial, atau sering disebut minyak volatile (volatile oil) yang berkisar antara 5-15% dari biji. Kedua adalah minyak tidak berwarna atau kuning pucat dengan rasa dan bau khas pala (nutmeg butter) yang mempunyai proporsi antara 24-40% dari biji.
Pala sudah sejak lama digunakan oleh berbagai masyarakat local di dunia untuk berbagai kepentingan. Biji pala dimanfaatkan obat pencernaan, terutama pada sistem pencernaan yang terganggu. Pada beberapa kelompok masyarakat, daging buah pala diproses menjadi asinan pala, manisan pala, dan selai pala (Hadad dan Syakir, 1992).
Pala terutama diketahui bermanfaat sebagai obat karena kemampuan dan kandungan fitokimia yang dimilikinya. Pala terutama dilaporkan berfungsi dalam penyembuhan berbagai penyakit, antara lain:
• Antikanker
• Efek hepatoprotektif
• Antioksidan
• Antiinflamasi
• Antitrombotik
Beberapa kelompok masyarakat menggunakan dan memanfaatkan buah pala untuk menghilangkan masuk angin, menghilangkan insomnia dan menambah nafsu makan. Pala juga digunakan untuk menjaga kesehatan mulut, memperlancar system pencernakan, meredakan asam lambung dan menghilangkan muntah. Konsumsi buah pala juga dapat berakibat kepada melancarkan peredaran darah dan menormalkan tekanan darah. Penelitian medis menjelaskan bahwa pala berpotensi dalam pengobatan anemia dan diabetes. Buah pala juga digunakan dalam perawatan kulit.
Studi farmakologi terhadap potensi pala menjelaskan bahwa buah pala berpotensi sebagai antimicrobial, antara lain berperan dalam penghambatan pertumbuhan Bacillus anthracis, B. mycoides, B. pumilus, B. subtilis, Escherichia coli, Saccharomyces cerevisiae, Shigella spp. I dan II dan patogenik terhadap bakteri Stapilokokus (Latha et al., 2005). Anekaragam pemanfaatan pala tersebut tentunya menjadi kunci bagi peningkatan nilai komersial pala di masa mendatang.
Pala sebagai tanaman kebun
Pala dikenal luas sebagai salah satu tanaman penting dalam sistem agroforestri masyarakat, terutama pada area vulkanik dengan iklim yang sesuai dengan persyaratan pertumbuhan dan produktifitas optimal pala. Tidak seperti di Indonesia timur dimana kebun-kebun pala dijumpai secara luas, di Jawa hampir dikatakan tidak ada kebun dengan dominasi tanaman pala. Pala adalah tanaman sela dengan jumlah individu dalam satu kebun tidak banyak. Pala yang tumbuh dan membentuk kanopi memberikan dampak naungan signifikan sehingga mempengaruhi produktifitas kopi, coklat atau tanaman lainnya yang menjadi tanaman utama pada kebun masyarakat.
Sebagaimana tanaman kebun lainnya, pala di kebun akan tumbuh dengan optimal dalam lahan kebun dengan topsoil cukup dalam. Namun demikian, pada tanah-tanah yang berbatu pada desa-desa di lereng pegunungan tropis dengan suhu 18º C -30º C, pala masih dapat tumbuh dengan baik. Kandungan bahan organic yang tinggi di kebun mempengaruhi pertumbuhan dan produktifitas tanaman pala. Selain itu, sinar matahari yang cukup sepanjang tahun memberikan kontribusi penting dalam memacu produktifitas pala.
Pemeliharaan tanaman pala di kebun cukup mudah dan dapat dikatakan tidak membutuhkan manajemen yang intensif. Pala tumbuh sebagaimana pohon-pohon lainnya tanpa pemupukan intensif. Pemberian pupuk kandang biasanya diberikan satu kali dalam satu tahun bersama-sama dengan pemberian pupuk kendang untuk kopi, coklat, atau tanaman budidaya lainnya. Penyiangan gulma relatif jarang dilakukan karena area di bawah kanopi pohon pala sangat rindang dan membatasi gulma untuk tumbuh.
Ancaman dari populasi tanaman pala di kebun antara lain adalah alih fungsi tataguna lahan. Banyak habitat pala saat ini berubah menjadi lahan-lahan yang dikelola secara intensif dengan komoditas tanaman hortikultur yang mempunyai nilai ekonomi lebih prospektif.
Teknologi pengelolaan buah pala di perdesaan tidak tersedia sehingga harga panen pala menjadi murah dan harga dikendalikan oleh pengepul di lapangan. Buah pala biasanya dijual dalam bentuk utuh, atau dirajang dalam bentuk kering. Pengeringan biasanya dilakukan secara tradisional dengan pemanasan di ruang terbuka di bawah terik sinar matahari. Hal ini sering membuat biji-biji pala dan salut biji (mace) terkontaminasi kotoran sehingga mempengaruhi nilai jual. Tantangan lain dalam konservasi plasma nutfah pala adalah rendahnya perhatian terhadap aspek genetic pala di Indonesia. Sangat jarang bahkan tidak ada kegiatan penelitian genetic untuk memetakan diversitas genetic pala yang berperan penting dalam menyediakan informasi penting dalam upaya konservasi spesies.
Disadur dari : Luchman Hakim, Rempah & Herba Kebun-Pekarangan Rumah Masyarakat: Keragaman, Sumber Fitofarmaka dan Wisata Kesehatan-kebugaran, Diandra Pustaka Medika 2015